Pernahkah
kalian melihat pentas kesenian sacral Calonarang?
Bagi orang awam pentas Calonarang
merupakan kesenian yang memiliki unsur mistis yang kental, sehingga tak jarang
membuat bulu kuduk penonton berdiri.
Jika dilihat sepintas, kesenian Calonarang merupakan suatu pergulatan
abadi antara dua hal yang berbeda tapi selalu menyatu, sama-sama kuat dan
sama-sama unggul (rwa bhineda) yang disimboliskan dengan dengan pertempuran
barong dan rangda. Dalam pentas kesenian sacral Calonarang biasanya ada orang-orang yang kerasukan, ada yang
menari, berteriak meraung-raung ataupun ada yang ngunying/ngurek (menusuk badan dengan keris). Mengapa dalam
pertunjukan Calonarang ada ngunying/ngurek (menusuk badan dengan
keris)? Hal ini dapat dijelaskan dalam sebuah mitologi tentang perjalanan Dewi
Uma dalam mencari obat untuk Dewa Siwa.
Dikisahkan
ketika Dewa Siwa sedang mengalami sakit keras maka diutuslah Dewi Uma untuk
mencari obat-obatan ke Mayapada
(dunia ini). Dalam perjalanan mencari obat-obatan tersebut Dewi Uma bertanya
pada setiap pohon dan rumput-rumputan (sarwa taru dan sarwalata). Atas anugrah
yang Mahakuasa kesemua pohon dan tanaman tersebut dapat menjawab dengan baik,
tumbuhan-tumbuhan itu menerangkan khasiatnya masing-masing mulai dari
akarnya,batang, daun, bunga sampai buahnya. Hasil pertanyaan Dewi Uma tersebut
dicatat dengan baik dalam sebuah lontar yang keudian disebut lontar kalimosada.
Selain lontar kalimosada terdapat lontar taru pramana yang menjelaskan dengan
gamblang khasiat-khasiat dari tumbuhan-tumbuhan.
Dalam
perjalanan selanjutnya, tepatnya pada tengah hari sektar jam 12.00 (kali tepet)
sampailah dewi ua di setra gandamayu, tepatnya pada sebuah pohon besar yaitu
pohon randu. Disanalah Beliau melakukan tanya jawab dengan pohon teersebu.
Kebetulan waktu itu adalah waktu yang terlarang oleh Sang Kala Banaspati Raja,
sang menguasa pohon-pohon besar yang sedang tidur dengan nyenyak menjadi
terbangun karena mendengar keributan yang disebabkan oleh percakapan Dewi Uma
dengan pohon rangdu tersebut pada waktu yang salah ( nyalah masa), maka Sang
Kala Banaspati Raja bangun dari tidurnya karena merasa wajib memangsa orang
yang salah waktu (nyalah masa) karena itulah kewajiban dari Sang Kala Banaspati
Raja maka diseranglah Dewi Uma tanpa diketahui siapa sebenarnya Dewi Uma
tersebut. Pertempuran tak dapat dielakan, dalam upaya mempertahankan diri Dewi
Uma terpaksa merubah wujub Beliau kembali menjadi Dewi Durga yang amat menyeramkan,
untuk menandingi kesaktian dari Sang Kala Banaspati Raja.
Dalam
adu kesaktiaan tersebut Sang Kala Banaspati Raja mengalami kekalahan karena ia
beradapan dengan sang menguasa maut. Disamping itu, karena Sang Kala Banaspati
Raja merupakan kias dari badan jazad, sedangkan Dewi Durga merupakan jiwa yang
abadi. Oleh karena itu pantaslah Sang Kala Banaspati Raja dikalahkan.
Melihat rajanya
dikalahkan, rakyat Sang Kala Banaspati Raja yang terdiri dari orang-orang halus
sangatlah marah dan serta merta ingin menyerang Dewi Durga, akan tetapi setiap
rakyat itu ingin menyerang dan berhadapan dengan Dewi Durga, mereka merasa
kalah wibawa berhadapan dengan sang penguasa maut tersebut. Karena tidak mampu
untuk menyerang Dewi Durga dan untuk memuaskan nafsu amarah mereka maka mereka
menusuk diri mereka sendiri.
Itulah
awal mulanya orang yang kerasukan dalam pentas Calonarang menusuk diri mereka sendiri (ngunying/ngurek), mereka akan sadar kembali apabila sudah terpenuhi
hawa nafsunya.
Jika dilihat mitologi
tersebut Sang Kala Banaspati Raja yang dilambangkan dengan barong
mempertahankan kewajibannya, sedangkan Dewi Durga yang dilambangkan dengan
rangda merupakan simbolis dari dewi kematian yang selalu menghantui setiap
kehidupan. Oleh sebab itu pemahaman antara kewajiban (dhrma) dan kematian
(praline) diharapkan disadari sebagai sesuatu yang wajar/alami.
0 comments:
Post a Comment