Subscribe:

Thursday 18 February 2016

Mitologi Wewaran



Pernahkah anda memperhatikan kalender Bali? Sekedar melihat ada rerahinan atau hari suci apa pada hari ini. Anda tentu akan melihat ada perhitungan urip pada setiap hari tersebut, mungkin anda akan merasa penasaran bagaimana dasar menentukan urip pada setiap wewaran tersebut? Jika anda berpikir demikian maka kita sama, saya sangat penasaran kenapa leluhur kita bisa menentukan urip dari setiap wewaran tentunya penentuan ini memiliki suatu dasar yang jelas dan tidak asal-asalan. Dalam lontar Bhagawan Garga lampiran 4-7 disebutkan bahwa Sang Hyang rau (siang) dan Sang Hyang Ketu (malam) sebagai pencetus Rwa Bhineda, yakni Cetana dan Acetana
Pradana dan Purusa, yang diungkapkan dalam mitos yang menceritakan peperangan anatara Dewa dengan Kala. Personifikasi tersebut sesungguhnya untuk menggambarkan pengaruh aksi dan reaksi yang terjadi di alam yang mempengaruhi kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Terjadinya sebab-akibat tersebut karena alam mempunyai sifat dualis yang konotasinya adalah sifat-sifat Durga, yakni dalam satu sisi sebagai ibu alam semesta yang memberikan kasih saying yang teramat besar bagi alam semesta, namun dalam sisi lain juga sebagai keganasan alam yang berupa bencana-bencana alam, seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya.
Dikisahkan pada suatu ketika Sang Hyang Rau berada di wayabya ( barat laut) di damping oleh Sang Hyang Sangkara. Beliau berdiri tegak bagaikan sinar sepuluh ribu matahari. Para dewa kemudian “berperang” dengan seluruh kala, dan akhinya semua kala mati. Namun dapat dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Adhikala, dengan hanya sekali sentuh semua kala tersebut hidup kembali, sehingga wayabya diberikan urip satu.
Lebih lanjut dalam mitologi ini, Sang Hyang Sangkara di bunuh oleh Sang Kala Mretyu satu kali dan dengan sekali sentuh akhirnya hidup kembali. Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa wayabya ( barat laut). Sang Hyang Siwa dibunuh oleh Sang Hyang Kala Eka Dasa Bumi delapan kali, lalu dihidupkan kembali sampai kedelapan kalinya, oleh karena itu kliwon mempunyai urip delapan.
Sang Hyang Iswara dibunuh oleh kala sanjaya lima kali dan dihidupkan kembali sampai kelima kalinya, oleh sebab itu umanis mempunyai urip lima. Sang Hyang Brahma dibunuh Sembilan kali oleh Kala Wisesa dan dihidupkan kembali sampai kesembilan kalinya, oleh karena itu pahing mempunyai urip Sembilan. Sang Hyang Mahadewa dibunuh oleh Kala Agung tujuh kali dan dihidupkan kembali sampai ketujuh kalinya, oles sebab itu pon diberikan urip tujuh. Sang Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasa Muka empat kali dan hidup kembali empat kali oleh sebab itu wage mempunyai urip empat.
Raditya dibunuh oleh Kala Limut lima kali dan dihidupkan kembali sampai kelima kalinya oleh karena itu Raditya (minggu) mempunyai urip lima. Sang Hyang Candra dibunuh oleh Kala Ngruda empat kali lalu hidup kembali empat kali, oleh sebab itu Soma (senin) mempunyai urip empat.Sang Hyang Manggala dibunuh oleh Kala Enjer tiga kali dan dihidupkan kembali samapai ketiga kalinya, maka Anggara( selasa) memiliki urip tiga. Sang Hyang Budha dibunuh oleh Kala Selongsongpati tujuh kali dan hidup kembali tujuh kali oleh sebab itu Budha (rabu) memiliki urip tujuh. Sang Hyang Wrespati dibunuh oleh Kala Amangkurat delapan kali dan dihidupkan sampai kedelapan kalinya, oleh sebab itu Wrespati (kamis) memiliki urip delapan. Sang Hyang Kawia dibunuh oleh Kala Graha enam kali dan urip enam kali, olesh sebab itu Sukra (jumat) memiliki urip enam. Dewi Gori dibunuh oleh Sang Kala Tiga Sembilan kali dan dihidupkan samapai kesembilan kalinya, maka Saniscara (sabtu) memiliki urip Sembilan.
Demikianlah peperangan antara dewa dan kala yang dikisahkan dalam lontar Bhagawan Garga lampiran 4-7 yang pada akhirnya semuanya dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Eka Taya/ Sang Hyang Taya.
Cerita wariga diatas dapat kita hayati dalam kehidupan nyata sebagai suatu proses psikis dalam diri manusia yang telah memiliki tri pramana dan dapat menentukan benar dan salah (wiweka) yang dalam dirinya juga terdapat unsur rwa bhineda, oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai “dewa ya bhuta ya” istilah tersebut cenderung mengarah pada sifat manusia yang menginginkan perdamaian tapi juga menginginkan perperangan. Dua sifat yang berlawanan ini melakukan pergulatan abadi dimana kematian dapat diaritkan sebagai suatu kesalahan dan dihidupkan kembali adalah suatu evaluasi untuk menjadi lebih baik lagi.
Kala dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai ruang dan waktu, jika ruang dan waktu ini disii dengan hal-hal yang buruk maka kebaikan dan kebenaran akan mengalami kekalahan (mati). Namun sebaliknya jika ruang dan waktu ini diisi dengan hal-hal yang baik maka kebaikan dan kebenaran akan menang (urip/hidup). Oleh sebab itu wariga mengajarkan kita sebagai manusia yang merupakan bagian dari alam, yang seluruh kebutuhannya dipenuhi oleh alam hendaknya dalam melakukan segala tindakan harus memohon ijin kepada alam, begitu pula setelah berhasil melakukannya hendaknya melaporkannya kepada alam, agar terciptanya keharmonisan antara alam dan manusia.

0 comments:

Post a Comment