Pernahkah
anda memperhatikan kalender Bali? Sekedar melihat ada rerahinan atau hari suci
apa pada hari ini. Anda tentu akan melihat ada perhitungan urip pada setiap hari tersebut, mungkin anda akan merasa penasaran
bagaimana dasar menentukan urip pada
setiap wewaran tersebut? Jika anda berpikir demikian maka kita sama, saya
sangat penasaran kenapa leluhur kita bisa menentukan urip dari setiap wewaran tentunya penentuan ini memiliki suatu
dasar yang jelas dan tidak asal-asalan. Dalam lontar Bhagawan Garga lampiran 4-7 disebutkan bahwa Sang Hyang rau (siang) dan Sang
Hyang Ketu (malam) sebagai
pencetus Rwa Bhineda, yakni Cetana
dan Acetana
Pradana dan Purusa, yang diungkapkan dalam mitos yang menceritakan peperangan anatara Dewa dengan Kala. Personifikasi tersebut sesungguhnya untuk menggambarkan pengaruh aksi dan reaksi yang terjadi di alam yang mempengaruhi kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Terjadinya sebab-akibat tersebut karena alam mempunyai sifat dualis yang konotasinya adalah sifat-sifat Durga, yakni dalam satu sisi sebagai ibu alam semesta yang memberikan kasih saying yang teramat besar bagi alam semesta, namun dalam sisi lain juga sebagai keganasan alam yang berupa bencana-bencana alam, seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya.
Pradana dan Purusa, yang diungkapkan dalam mitos yang menceritakan peperangan anatara Dewa dengan Kala. Personifikasi tersebut sesungguhnya untuk menggambarkan pengaruh aksi dan reaksi yang terjadi di alam yang mempengaruhi kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Terjadinya sebab-akibat tersebut karena alam mempunyai sifat dualis yang konotasinya adalah sifat-sifat Durga, yakni dalam satu sisi sebagai ibu alam semesta yang memberikan kasih saying yang teramat besar bagi alam semesta, namun dalam sisi lain juga sebagai keganasan alam yang berupa bencana-bencana alam, seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya.
Dikisahkan
pada suatu ketika Sang Hyang Rau berada
di wayabya ( barat laut) di damping
oleh Sang Hyang Sangkara. Beliau berdiri tegak bagaikan sinar sepuluh ribu
matahari. Para dewa kemudian “berperang” dengan seluruh kala, dan akhinya semua
kala mati. Namun dapat dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Adhikala,
dengan hanya sekali sentuh semua kala tersebut hidup kembali, sehingga wayabya diberikan urip satu.
Lebih lanjut dalam
mitologi ini, Sang Hyang Sangkara di bunuh oleh Sang Kala Mretyu satu kali dan dengan
sekali sentuh akhirnya hidup kembali. Sang
Hyang Sangkara sebagai penguasa wayabya ( barat laut). Sang Hyang Siwa dibunuh oleh Sang Hyang
Kala Eka Dasa Bumi delapan kali, lalu
dihidupkan kembali sampai kedelapan kalinya, oleh karena itu kliwon mempunyai urip delapan.
Sang Hyang Iswara
dibunuh oleh kala sanjaya lima kali dan dihidupkan kembali sampai kelima
kalinya, oleh sebab itu umanis
mempunyai urip lima. Sang Hyang Brahma dibunuh Sembilan kali oleh Kala Wisesa dan dihidupkan kembali sampai kesembilan kalinya, oleh
karena itu pahing mempunyai urip Sembilan. Sang Hyang Mahadewa dibunuh oleh Kala Agung tujuh kali dan dihidupkan kembali sampai ketujuh
kalinya, oles sebab itu pon diberikan urip
tujuh. Sang Hyang Wisnu dibunuh oleh Kala Dasa Muka empat kali dan hidup kembali empat kali oleh sebab
itu wage mempunyai urip empat.
Raditya
dibunuh oleh Kala Limut lima kali dan
dihidupkan kembali sampai kelima kalinya oleh karena itu Raditya (minggu) mempunyai urip
lima. Sang Hyang Candra dibunuh oleh Kala Ngruda empat kali lalu hidup
kembali empat kali, oleh sebab itu Soma
(senin) mempunyai urip empat.Sang Hyang Manggala dibunuh oleh Kala Enjer tiga kali dan dihidupkan
kembali samapai ketiga kalinya, maka Anggara(
selasa) memiliki urip tiga. Sang Hyang Budha dibunuh oleh Kala
Selongsongpati tujuh kali dan hidup kembali tujuh kali oleh sebab itu Budha (rabu) memiliki urip tujuh. Sang Hyang Wrespati dibunuh oleh Kala Amangkurat delapan kali dan dihidupkan sampai kedelapan kalinya,
oleh sebab itu Wrespati (kamis)
memiliki urip delapan. Sang Hyang Kawia dibunuh oleh Kala Graha
enam kali dan urip enam kali, olesh
sebab itu Sukra (jumat) memiliki urip enam. Dewi Gori dibunuh oleh Sang
Kala Tiga Sembilan kali dan dihidupkan samapai kesembilan kalinya, maka Saniscara (sabtu) memiliki urip Sembilan.
Demikianlah
peperangan antara dewa dan kala yang dikisahkan dalam lontar Bhagawan Garga
lampiran 4-7 yang pada akhirnya semuanya dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Eka Taya/ Sang Hyang Taya.
Cerita
wariga diatas dapat kita hayati dalam kehidupan nyata sebagai suatu proses
psikis dalam diri manusia yang telah memiliki tri pramana dan dapat menentukan
benar dan salah (wiweka) yang dalam dirinya juga terdapat unsur rwa bhineda,
oleh sebab itu manusia dikatakan sebagai “dewa ya bhuta ya” istilah tersebut
cenderung mengarah pada sifat manusia yang menginginkan perdamaian tapi juga
menginginkan perperangan. Dua sifat yang berlawanan ini melakukan pergulatan
abadi dimana kematian dapat diaritkan sebagai suatu kesalahan dan dihidupkan
kembali adalah suatu evaluasi untuk menjadi lebih baik lagi.
Kala
dalam hal ini juga dapat diartikan sebagai ruang dan waktu, jika ruang dan
waktu ini disii dengan hal-hal yang buruk maka kebaikan dan kebenaran akan
mengalami kekalahan (mati). Namun sebaliknya jika ruang dan waktu ini diisi
dengan hal-hal yang baik maka kebaikan dan kebenaran akan menang (urip/hidup). Oleh sebab itu wariga
mengajarkan kita sebagai manusia yang merupakan bagian dari alam, yang seluruh
kebutuhannya dipenuhi oleh alam hendaknya dalam melakukan segala tindakan harus
memohon ijin kepada alam, begitu pula setelah berhasil melakukannya hendaknya
melaporkannya kepada alam, agar terciptanya keharmonisan antara alam dan
manusia.
0 comments:
Post a Comment