Sekarang
merupakan era globalisasi dimana kita dapat dengan mudahnya mengakses suatu
informasi dari daerah atau belahan dunia lain dengan sangat murah, mudah dan
cepat. Informasi itu dapat berupa hasil kebudayaan, agama ataupun pengetahuan
lainnya. Di zaman yang serba canggih ini
perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk dapat
memfilter atau memilah mana informasi yang dapat digunakan dengan baik dan mana
yang dapat memberikan kehancuran pada diri kita (Wiweka).
Belakangan
ini banyak saya lihat
pemberontakan-pemberontakan spiritual antara para intelektualis dan spiritualis
tentang adat, budaya dan agama yang berkembang di Bali. Ada yang mengatakan
jika Bali hanya menjalankan ritual saja tanpa memperhatikan Tatwa dan Susila yang merupakan tiga kerangka agama Hindu, tidak mengetahui
dan menjalankan apa yang diajarkan dalam Weda,
tidak melaksankan tradisi-tradisi dalam Weda.
Well, anggapan itu memang tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya
benar. Agama Hindu mempunyai tiga kerangka agama Hindu yaitu Tatwa, Susila dan Upacara, di Bali
cenderung lebih dominan dengan Upacara
apakah Tatwa dan Susila dikesampingkan? Nyatanya tidak kedua aspek tersebut juga ada
dalam setiap upacara yang diadakan, apakah uapacara-upacara yang diadakaan di Bali
keluar dari ajaran Weda? Tentu saja
tidak, dalam mentafsirkan isi Weda
tidak dapat di lakukan dengan waktu sehari atau dua hari karena isi dalam Weda sangat luas dan fleksibel sama
halnya dengan agama Hindu yang luas, fleksibel dan tidak membunuh Local Genius suatu daerah dimana agama Hindu
berkembang. Sekarang menjadi pertanyaannya adakah filosofi local Bali yang
dapat disetarakan dengan filosofi-filosofi dalam Weda? Tentu saja ada, filosofi-filosofi asli Bali ini dimulai
dengan kata-kata yang sangat sederhana tapi memiliki makna yang sangat luar biasa. filosofi asli Bali
yang patut anda ketahui, yaitu:
1. Segara
Agung Tan Patepi ( lautan luas tanpa daratan)
Jika anda pernah belajar agama Hindu di Bali anda
pasti pernah mendengar istilah ini, saya pertama kalinya mendengar istilah ini
pada saat sekolah dasar pada saat guru
agama Hindu saya menerangkan tentang Indria,
yaitu Suatu keinginan tanpa batas. Tapi apakah segala keinginan tersebut akan
berdampak buruk? Tentuya tidak, perlu adanya kontrol dalam diri untuk menerima
dan mengeluarkan keinginan dalam diri tersebut. Ketika seseorang telah
mengamalkan Segara Agung Tan Patepi pada dirinya dengan bijaksana orang
tersebut akan mempunyai pengetahuan yang sangat luas seluas lautan yang
disebabkan oleh keinginan untuk selalu belajar tanpa pantang menyerah untuk
mencapai tujuan hidupnya, dapat dikatakan orang ini melaksanakan jalan
pengetahuan (Jnana Marga Yoga). Pengetahuan
tersebut sangat luas dan mampu menerima pengetahuan-pengetahuan baru dari segala
penjuru layaknya lautan yang dapat menampung berapapun air yang menuju lautan.
Dalam filosifi ini jelas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan jalan
pengetahuan (Jnana Marga Yoga) yang
banyak dijelaskan oleh kitab suci Weda.
2. Tampakin
Kuntul Anglayang
Terkadang pengetahuan yang luas tidak diimbangi
dengan kebijaksaan yang luas pula, banyak orang yang merasa telah pintar dengan
mempelajari segala jenis pengetahuan baik itu sastra agama atau ilmu
pengetahuan modern menjadi lupa diri, lupa daratan bak kacang lupa dengan
kulitnya. Banyaknya terjadi konflik SARA belakangan ini dikarenakan adanya
pihak yang merasa dirinya pintar karena sudah mempelajari ddan merasa ahli
dalam bidang tertentu dan dengan sepihak menjudge
pihak lain dengan mengatakan pengetahuan yang dimilikinya sesat. Rupanya
orang-orang seperti ini tidak pernah mempelajari filosofi Tampakin Kuntul
Anglayang, sejauh apapun burung kuntul terbang ia tak pernah lupa dari mana ia
berasal, seseorang yang bijak walaupun memiliki pengetahuan yang sangat luas
tapi ia tidak pernah sombong dan selalu rendah hati tidak pernah lupa dari mana
ia berasal/ kawitan. Saya jadi teringat dengan kartun little Krisna dimana
diceritakan bahwa Dewa Indra menjadi sangat sombong dan melupakan siapa yang
telah memberikan ia kekuatan pada akhirnya Dewa Indra malah mempermalukan
dirinya dengan kepintaran yang keliru sehingga kepintaran itu malah berbalik
menjadi kebodohan. Banyak orang-orang di negara ini lupa dengan asal mereka
lupa dengan leluhur mereka yang menjaga mereka dengan sepenuh hati. Jadi jangan
salahkan leluhur jika banyak terjadi kekacauan di negara ini, itu semua karena
kita semua terlalu sombong dan mencampakan nilai-nilai keluhuran bangsa Indonesia
yang telah diajarkan berabad-abad lalu oleh para leluhur kita.
3. Isinin
Buluh Kumbang
Pengalaman merupakan guru yang terbaik, pengalaman
memberikan pengetahuan yang tidak didapatkan melalui pengajarn seorang guru,
kemampuan selalu menarik ke dalam diri pada setiap kejadian danmenjadikan sebuah
pengetahuan kemudian menggali ke dalam diri melalui perenungan guna lebih mawas
diri. Dapat saya tafsirkan disini adalah jalan pengetahuan dengan cara
merenungkan segala kejadian yang pernah terjadi, sama halnya dengan saat malam Siwalatri
kita melakukan perenungan diri, merenungi segala kejadian yang pernah terjadi
dan menjadikan renungan tersebut untuk meningkatkan kualitas diri kita menjadi
lebih baik.
4. Galihin
kangkung
Dalam proses belajar terdapat tahapan-tahapan yang
perlu kita selesaikan sesuai dengan tingkat kemampuan kita, sama halnya dalam
memahami kitab suci Weda kita tidak
akan mampu memahami Weda Sruti tanpa mempelajari Weda Smerti
kita tidak akan bisa mengerti Weda
Smerti jika tidak menguasai Upanisad ataupun Bhagawand Gita kita tidak akan dapat mengerti Upanisad ataupun Bhagawand
Gita jika tidak memulainya dengan pikiran yang bersih dan suci. Begitu pula
dengan memuja Tuhan, mulailah dengan memuliakan orang tua atau leluhur dahulu
karena mereka adalah Tuhan yang berwujud nyata dan dapat dilihat, kemudian
mulailah memuliakan para dewa yang merupakan manifrestasi Tuhan dalam wujud
Beliau sebagai Chadu Sakti, barulah
memuliakan Tuhan dalam wujud Beliau yang Nirguna,
suci bersih dan tidak dapat dipikirkan oleh manusia.
5. Lontar
Tanpa Tulis
Istilah ini menjadi istilah yang paling ingin saya
cari dari sejak zaman SMA, saya pikir istilah Lontar Tanpa Tulis merupakan
istilah yang memiliki banyak makna. Bagaimana bisa belajar dengan lontar yang
tidak terdapat tulisannya? Seorang yang sudah dapat melepaskan kemelakatanya
terhadap keduniawian tidak lagi berhasrat memuaskan hawa nafsunya dan
menjadikan segala yang ada di alam semesta ini (Bhuwana Agung) dan yang terdapat dalam tubuhnya (Bhuwana Alit) sebagai media untuk
belajar dan menyadari bahwa semua kejadian tidak ada yang terjadi karena suatu
kebetulan tapi bagian dari prosess membelajaran. Lontar Tanpa Tulis merupakan
implementasi dari ajaran Jnana dan Raja Marga Yoga yang di Bali digubah
kembali menjadi kata-kata yang lebih sederhana untuk memudahkan untuk
dipelajari.
Agama
Hindu merupakan agama yang fleksibel dan menitikberatkan pada kedamaian dan
cinta kasih, tidak masalah jika ada seseoarng yang berbeda caranya dalam
mentafsirkan Weda namun yang perlu
diperhatikan adalah agar jangan
tafsir-tafsir tersebut malah merusak khazanah budaya leluhur dan menimbulkan
perpecahan. Banggalah dengan budaya asli Nusantara karena budaya Nusantara ini
sangatlah kaya dan dapat memukau mata dunia sehingga dapat membawa negara Indonesia
menjadi negara yang penuh kedamaian dalam kebhinekaan sesuai dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” yang dikutip dari kitab Sutasoma
yang ditulis oleh Mpu Tantular yang merupakan salah satu pujangga besar negeri
ini pada masa lampau.
Demikianlah
artikel sederhana dari saya, jika bermanfaat bisa di share ke teman-teman
kalian agar lebih mencintai budaya atau filosofi Nusantara dan tidak terlalu
mengagung-agungkan budaya luar. Semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment