Subscribe:

Thursday 29 October 2015

Mengapa dalam pentas Calonarang ada tradisi ngunying (menusukan keris ke badan) ?



Pernahkah kalian melihat pentas kesenian sacral Calonarang? Bagi orang awam pentas Calonarang merupakan kesenian yang memiliki unsur mistis yang kental, sehingga tak jarang membuat bulu kuduk penonton berdiri.
Jika dilihat sepintas, kesenian Calonarang merupakan suatu pergulatan abadi antara dua hal yang berbeda tapi selalu menyatu, sama-sama kuat dan sama-sama unggul (rwa bhineda) yang disimboliskan dengan dengan pertempuran barong dan rangda. Dalam pentas kesenian sacral Calonarang biasanya ada orang-orang yang kerasukan, ada yang menari, berteriak meraung-raung ataupun ada yang ngunying/ngurek (menusuk badan dengan keris). Mengapa dalam pertunjukan Calonarang ada ngunying/ngurek (menusuk badan dengan keris)? Hal ini dapat dijelaskan dalam sebuah mitologi tentang perjalanan Dewi Uma dalam mencari obat untuk Dewa Siwa.
Dikisahkan ketika Dewa Siwa sedang mengalami sakit keras maka diutuslah Dewi Uma untuk mencari obat-obatan ke Mayapada (dunia ini). Dalam perjalanan mencari obat-obatan tersebut Dewi Uma bertanya pada setiap pohon dan rumput-rumputan (sarwa taru dan sarwalata). Atas anugrah yang Mahakuasa kesemua pohon dan tanaman tersebut dapat menjawab dengan baik, tumbuhan-tumbuhan itu menerangkan khasiatnya masing-masing mulai dari akarnya,batang, daun, bunga sampai buahnya. Hasil pertanyaan Dewi Uma tersebut dicatat dengan baik dalam sebuah lontar yang keudian disebut lontar kalimosada. Selain lontar kalimosada terdapat lontar taru pramana yang menjelaskan dengan gamblang khasiat-khasiat dari tumbuhan-tumbuhan.
Dalam perjalanan selanjutnya, tepatnya pada tengah hari sektar jam 12.00 (kali tepet) sampailah dewi ua di setra gandamayu, tepatnya pada sebuah pohon besar yaitu pohon randu. Disanalah Beliau melakukan tanya jawab dengan pohon teersebu. Kebetulan waktu itu adalah waktu yang terlarang oleh Sang Kala Banaspati Raja, sang menguasa pohon-pohon besar yang sedang tidur dengan nyenyak menjadi terbangun karena mendengar keributan yang disebabkan oleh percakapan Dewi Uma dengan pohon rangdu tersebut pada waktu yang salah ( nyalah masa), maka Sang Kala Banaspati Raja bangun dari tidurnya karena merasa wajib memangsa orang yang salah waktu (nyalah masa) karena itulah kewajiban dari Sang Kala Banaspati Raja maka diseranglah Dewi Uma tanpa diketahui siapa sebenarnya Dewi Uma tersebut. Pertempuran tak dapat dielakan, dalam upaya mempertahankan diri Dewi Uma terpaksa merubah wujub Beliau kembali menjadi Dewi Durga yang amat menyeramkan, untuk menandingi kesaktian dari Sang Kala Banaspati Raja.
Dalam adu kesaktiaan tersebut Sang Kala Banaspati Raja mengalami kekalahan karena ia beradapan dengan sang menguasa maut. Disamping itu, karena Sang Kala Banaspati Raja merupakan kias dari badan jazad, sedangkan Dewi Durga merupakan jiwa yang abadi. Oleh karena itu pantaslah Sang Kala Banaspati Raja dikalahkan.
Melihat rajanya dikalahkan, rakyat Sang Kala Banaspati Raja yang terdiri dari orang-orang halus sangatlah marah dan serta merta ingin menyerang Dewi Durga, akan tetapi setiap rakyat itu ingin menyerang dan berhadapan dengan Dewi Durga, mereka merasa kalah wibawa berhadapan dengan sang penguasa maut tersebut. Karena tidak mampu untuk menyerang Dewi Durga dan untuk memuaskan nafsu amarah mereka maka mereka menusuk diri mereka sendiri.
Itulah awal mulanya orang yang kerasukan dalam pentas Calonarang menusuk diri mereka sendiri (ngunying/ngurek), mereka akan sadar kembali apabila sudah terpenuhi hawa nafsunya.
Jika dilihat mitologi tersebut Sang Kala Banaspati Raja yang dilambangkan dengan barong mempertahankan kewajibannya, sedangkan Dewi Durga yang dilambangkan dengan rangda merupakan simbolis dari dewi kematian yang selalu menghantui setiap kehidupan. Oleh sebab itu pemahaman antara kewajiban (dhrma) dan kematian (praline) diharapkan disadari sebagai sesuatu yang wajar/alami.

0 comments:

Post a Comment